Rabu, 26 Desember 2012

Wanita, Pusat Gravitasi Keluarga



Keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat. Didalam keluarga umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga memiliki peran yang penting dalam pembentukan sebuah masyarakat. Pendidikan di keluarga adalah pendidikan awal dan utama bagi seorang manusia. Keluarga adalah pemberi pengaruh pertama pada anak manusia. Di samping itu juga keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental.
Lingkungan keluarga merupakan ranah dasar yang sangat menentukan kehidupan anak di masa selanjutnya. Sebab sebelum terjun ke lingkungan yang lebih luas, seorang anak mesti mendapat pendidikan dasar di lingkungan keluarganya. Karena itu, peran ibu di tengah keluarga memiliki posisi sentral.
Peran khusus ibu dalam mendidik anak bisa kita tinjau dalam dua perspektif. Pertama, masa-masa awal pembentukan kepribadian seorang anak dilalui dalam buaian dan kasih sayang seorang ibu. Pada masa-masa awal itulah pondasi pendidikan dini anak dimulai. Kebiasaan dan pola tindakan seorang ibu akan menjadi model perilaku dan kepribadian anaknya.
Kedua, kasih sayang seorang ibu merupakan tumpuan hangat seorang anak. Tiap kali seorang anak merasa tidak nyaman, ia pun akan lari ke pangkuan dan pelukan ibunya untuk memperoleh rasa aman. Psikiater Inggris John Balby sangat menekankan masalah tadi. Ia bahkan meyakini, landasan kepribadian anak dibangun dari hubungan ketergantungan anak dengan ibunya. Balby memaparkan, "Kita terlambat mengetahui bahwa jika seorang anak, khususnya lelaki, tidak memiliki ikatan ketergantungan kepada seorang ibu, maka si anak akan memiliki kepribadian yang membuatnya sulit untuk menjalin hubungan baik dengan yang lain".
Kini, pengabaian terhadap posisi dan peran ibu dalam mendidik anak telah membuat masyarakat Barat mengalami krisis sosial yang serius. Sosiolog AS, Davis Kingsley menulis, "Tampaknya, salah satu kinerja utama sistem pendidikan di Barat adalah mengasingkan anak dari orang tuanya". Dalam masyarakat modern, ibu lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan lingkungan kerja, sementara anak-anak diserahkan pada pusat-pusat penitipan anak. Ketika sampai di rumah, sang ibu pun merasa letih dan tidak mampu lagi memainkan peran keibuannya dengan baik. Seorang ahli dari Universitas Harvard, Dr. Burton White menyatakan, "Mustahil, tempat penitipan anak bisa memproduksi cinta keibuan dengan tingkat tinggi". Dr. Elliot Barker, psikiater Barat yang lebih dari dua dekade mengfokuskan penelitiannya tentang kepribadian para penjahat dan pembunuh, mengungkapkan keheranannya terhadap sikap sebagian besar orang tua yang tidak mendampingi anak-anaknya ketika mereka diperlukan. Ia juga mengungkapkan bahwa para pasien gangguan mental yang ditanganinya juga memiliki latar belakang yang sama, yaitu dikarenakan tidak memperoleh kasih sayang yang cukup dari orang tua. Dr. Elliot menjelaskan, "Saya baru memahami bahwa orang-orang seperti mereka, tak lama setelah dilahirkan mereka berpisah dengan ibunya dan diserahkan kepada orang lain. Sehingga ibu memiliki waktu yang lebih sedikit di samping mereka".
Oleh karena itu, Islam memandang keluarga sebagai institusi sosial yang paling mendasar dan menilai ibu sebagai arsitek generasi mendatang. Islam menganggap ibu memiliki peran yang menentukan dalam mendidik jiwa dan mental anak-anak. Sebab, anak yang saleh akan lahir dari buaian dan pendidikan seorang ibu yang baik.
Keluarga adalah bibit masayarakat. Apabila keluarga tergantung diatas Islam yang benar maka masyarakat akan menjadi baik yang dibangun diatas asas, kaidah dan landasan yang lurus. Dan tiang adalah istri yang shalihah dan ibu yang pandai mendidik dan seorang istri yang baik maka baiklah keluarga dan anak-anak sebagaimana yang dikatakan oleh penyair:
Ibu adalah madrasah, bila engkau persiapkan dengan baik maka engkau telah mempersiapkan bangsa yang baik dan kuat.
Ibu laksana taman, bila engkau pelihara tanamannya dengan siraman yang cukup maka akan tumbuh dengan subur dan rindang.
Rumah tangga pada dasarnya diwujudkan dan dikelola oleh perempuan. Komponen utama keluarga adalah perempuan, bukan laki-laki. Keluarga masih dapat dipertahankan tanpa laki-laki. Tanpa keberadaan laki-laki, misalnya karena meninggal dunia, seorang ibu rumah tangga masih dapat menjaga keluarga asalkan dia sehat secara lahir dan batin. Sebaliknya, seorang suami tanpa keberadaan isterinya tidak akan mampu memelihara rumah tangga. Dengan demikian, pengayom rumah tangga adalah perempuan.
Islam sedemikian mengutamakan peran perempuan dalam rumah tangga tak lain karena apabila perempuan menaruh komitmen dan hasratnya kepada keluarga, mementingkan pemeliharaan dan pertumbuhan anak, memberi ASI, membesarkan anak dalam pelukannya, membekali anak dengan citarasa budaya, hikayat-hikayat bijak, hukum dan kisah-kisah Al-Quran dan menyegarkan anak dengan siraman-siraman ruhani sama intensifnya dengan santapan jasmani, maka akan tercipta generasi-generasi yang bernas dan matang di tengah masyarakat. Inilah seni kehidupan seorang perempuan, dan ini sama sekali tidak kontradiktif dengan profesi perempuan di bidang pendidikan, karir, politik dan lain sebagainya. Di semua program sosial, rumah tangga harus menjadi pijakan. Masalah keibuan, rumah tangga dan keluarga adalah masalah yang sangat substansial dan vital. Artinya, sehebat apapun perempuan di bidang kedokteran atau bidang-bidang lainnya tetap akan cacat jika dia tidak eksis di dalam rumah tangga. Bagaimanapun juga perempuan harus menempatkan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Ini harus dijadikan orientasi. Ibu rumah tangga adalah ibarat ratu dalam dunia lebah, meskipun tamsil ini tak sepenuhnya tepat.
Kaum perempuan dunia sekarang terdera oleh problema yang sangat pelik dan kronis. Mereka terdera di dua zona sekaligus; rumah tangga dan masyarakat. Ini terjadi di Eropa, AS dan sejumlah negara lain yang meniru gaya hidup Barat dengan tingkat intensitas yang berbeda. Dalam rumah tangga, perempuan benar-benar terzalimi oleh suaminya. Kezaliman terbesar kaum pria terhadap perempuan dalam rumah tangga ialah sikap suami yang tidak mencerminkan pandangan bahwa isteri adalah pendamping hidupnya. Suami bersikap setengah hati terhadap isterinya. Suami di luar rumah gemar berbuat nista, mengumbar kesenangan dan hawa nafsu. Akibatnya, rumah tangga menjadi ruangan yang dingin tanpa kehangatan rasa kasih sayang dan terkadang malah suram dan tertekan oleh perilaku buruk.
Poin terpenting menyangkut istri dan suami adalah terkait interaksi antara keduanya. Perempuan adalah seorang puteri yang dibesarkan sampai usia remaja dengan susah payah dan penuh kasih sayang oleh orang tuanya. Setelah itu dia diserahkan kepada pria yang menikahinya. Nah, ketika itulah perempuan jangan sampai diperlakukan sebagai sosok yang diharap dapat memahami segala hal dan bersedia melakukan segala pekerjaan sehingga begitu ada sedikit saja kesalahan perempuan lantas diperlakukan dengan sewenang-wenang. Adalah suami yang zalim jika di dalam rumah dia merasa sebagai tuan dan memandang isterinya sebagai pelayan dan obyek eksploitasi. Sayangnya, banyak pria bersikap demikian.
Rumah tangga adalah salah satu benteng akidah Islam. Oleh karena itu, benteng tersebut harus kuat luar dan dalamnya. Setiap anggota keluarga harus berdiri siap siaga diposnya masing-masing. Sebab, kalau tidak demikian, akan mudah bagi pasukan musuh untuk menerobos masuk kedalam benteng, sehingga tidaklah sulit bagi mereka untuk menghancurkan dan menguasainya.
Kewajiban seorang mukmin adalah menjaga benteng itu dari dalam dengan memperkuat seluruh pos penjagaannya sebelum ia pergi jauh untuk berijtihad. Seorang bapak Muslim tidaklah cukup untuk bersama-sama mendidik putra dan putri mereka. Oleh karena itu, sia-sia kalau ada seorang mukmin laki-laki yang berusaha membangun masyarakat islami dengan sekelompok orang laki-laki lainnya saja. Semestinya harus ada wanita dalam masyarakat tersebut. Kaum wanita inilah yang menjadi penjaga bagi generasi muda yang merupakan benih sekaligus buah bagi masa depan masyarakat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar