A. Cinta Sesama Muslim Sebagian dari Iman
1.
Riwayat Hadits
Demikianlah di dalam Shahih Bukhari, digunakan kalimat “milik saudaranya”
tanpa kata yang menunjukkan keraguan. Di dalam Shahih Muslim disebutkan “milik
saudaranya atau tetangganya” dengan kata yang menunjukkan keraguan.
Para ulama berkata bahwa “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya
tidak sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang
tidak memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. Maksud
kalimat “mencintai milik saudaranya” adalah mencintai hal-hal kebajikan atau
hal yang mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i yang berbunyi : “Sampai
ia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya
sendiri”
Hadits di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang
adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri.
Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat
sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika
sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya.
Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadits di atas menunjukkan kurang atau
lemahnya tingkat keimanan seseorang. Sifat seperti yang disebutkan Rasulullah
dalam hadits tersebut hanya dapat terwujud jika seseorang terhindar dari sifat
dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, hadits tersebut dapat dipahami secara
terbalik bahwa orang yang menyimpan sikap dendam, dengki dan iri terhadap
sesamanya muslim termasuk orang yang tidak sempurna tingkat keimanannya. Hal
tersebut mengingat bahwa sifat dengki yang dimiliki seseorang terhadap
sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang mengunggulinya dalam hal-hal
tertentu. Seorang mukmin yang baik ialah apabila melihat kebaikan pada
saudaranya, ia berharap mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan
nikmat itu hilang dari saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya,
maka ia berusaha memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin ibarat
satu anggota tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Di sisi lain, hadits di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan
Islam terhadap persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam
menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang
dimaksudkan dalam hadits di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan
nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan
keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari
hati nurani, yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas
dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan
luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri
seseorang.
2.
Penjelasan
Iman dan
amal shaleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Meskipun konsep iman itu
sifatnya abstrak, tapi amal shaleh yang lahir dari seseorang merupakan pantulan
dari keimanan tersebut. Itulah sebabnya sehingga sejumlah ayat dalam al-Qur’an
selalu menyandingkan iman dengan amal shaleh. Tingkat keberimanan seseorang
akan melahirkan prilaku-prilaku kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
hubungan itu, sehingga Rasulullah saw. dalam sejumlah hadis selalu mengaitkan
tingkat kesempurnaan iman seseorang dengan prilaku sehari-hari. Di antara
prilaku yang dijadikan Rasulullah saw. sebagai parameter keberimanan seseorang
adalah sejauh mana tingkat kepedulian seseorang terhadap sesama manusia.
Hadis di
atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa
ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang
dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya
muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya
muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan
sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya
tingkat keimanan seseorang.
Sifat
seperti yang disebutkan Rasullah dalam hadis tersebut hanya dapat terwujud jika
seseorang terhindar dari sifat dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, hadis
tersebut dapat dipahami secara terbalik bahwa orang yang menyimpan sikap
dendam, dengki dan iri terhadap sesamanya muslim termasuk orang yang tidak
sempurna tingkat keimanannya. Hal tersebut mengingat bahwa sifat dengki yang
dimiliki seseorang terhadap sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang
mengunggulinya dalam hal-hal tertentu.
Seorang
mukmin yang baik ialah apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap
mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari
saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha
memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin ibarat satu anggota
tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Hadis di
atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min yang tidak mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada
hadis di atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang”
jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf
nafi لا pada
hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan.
Di sisi
lain, hadis di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap
persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya
sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan
dalam hadis di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi
lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan.
Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani,
yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan
dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama
keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.
Dalam
berbagai riwayat, Rasulullah saw. menjelaskan keutamaan dan keistimewaan yang
dimiliki oleh orang yang saling mencintai dan menyayangi atas dasar kecintaan
kepada Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah
saw. bersabda sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ
بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ مَعْمَرٍ عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ
يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي الْيَوْمَ
أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي.(رواه مسلم(
Artinya:
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada
kami dari Malik bin Anas sebagaimana dibacakan kepadanya dari ‘Abdillah bin
‘Abd al-Rahman bin Ma’mar dari Abi al-Hubab Sa’id bin Yasar dari Abu Hurairah
berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, “pada hari kiamat Allah swt. akan
berfirman: ‘dimanakah orang yang saling berkasih sayang karena kebesaran-Ku,
kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan kecuali
naungan-Ku. (H.R. Muslim)
Hadist
di atas mengisyaratkan bahwa cinta yang mendatangkan kebahagiaan abadi adalah
cinta yang dibangun atas dasar keridhaan Allah swt. Orang yang membangun
kecintaannya kepada sesamanya manusia karena Allah swt. akan mendapatkan
penghormatan istimewa di hari akhirat. Orang seperti ini senantiasa memandang
bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang memberi makna kepada orang
lain. Dengan demikian, ia selalu memposisikan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan hidup untuk kebahagiaan bersama.
Prinsip tersebut mengantarnya untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Sikap seperti ini
menyebabkan terjadinya keharmonisan hubungan antar individu yang akan
memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah saw.
bersabda:
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ
بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ)رواه البخاري ومسلم(
Artinya:
Khalad bin Yahya telah menceritakan kepada
kami, ia berkata bahwa Sofyan telah menceritakan kepada kami dari Abi Burdah
ibn ‘Abdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw. telah
bersabda: “sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan
bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.” (H.R.
Bukhari dan Muslim.)
Tatanan masyarakat yang penuh cinta kasih tidak
hanya sebatas konsep dan motivasi dari Rasulullah saw., tapi beliau sudah
terlebih dahulu mempraktekkannya dalam masyarakat Madinah pada peristiwa
hijrah. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar persaudaraan agama,
sehingga jiwa mereka terpaut satu sama lain melebihi hubungan persaudaraan
sedarah. Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong
dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin sebagai penderitaannya.
Perasaan seperti itu bukan didasarkan keterkaitan darah atau keluarga, tetapi
didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka memberikan apa saja
yang dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin,
bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada
saudaranya dari kaum Muhajirin.
Persaudaraan
seperti itu mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu
siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta, bahkan tidak jarang
mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik
seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt
Allah swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3):
92, yang artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Sebaliknya,
orang-orang mukmin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki
semangat ihsan terhadap
sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori tidak
sempurna keimanannya, meskipun mereka taat dalam menjalankan
kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur
dengan parameter ketaatan melaksanakan kewajiban individual terhadap al-Khaliq,
tetapi juga harus dibarengi dengan hablum minan nas yang baik.
Perlu
diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah
senantiasa berada dalam semanga ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas
alasan menolong sesama manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Tuhan, sebab tidak
ada ketaatan terhadap makhluk dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab
itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya jika pertolongan yang
diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah,
sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.
3.
Fiqh
al-Hadis
Salah
satu tanda kesempurnaan iman seorang mukmin adalah mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hal itu direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari dengan berusaha untuk menolong dan merasakan kesusahan
maupun kebahagiaan saudaranya seiman yang didasarkan atas keimanan yang teguh
kepada Allah SWT.
Dia
tidak berpikir panjang untuk menolong saudaranya sekalipun sesuatu yang
diperlukan saudaranya adalah benda yang paling ia cintai. Sikap ini timbul
karena ia merasakan adanya persamaan antara dirinya dan saudaranya seiman.
4. Intisari/Kandungan
Hadits
·
Mencintai sesama muslim merupakan bagian dari iman.
·
Ciri seorang muslim yang baik diantaranya merasakn dirinya bagian dari
orang lain sehingga apabila orang lain senang dia merasa senang, demikian pula
apabila orang lain sakit dia merasa sakit.
·
setiap muslim adalah bersaudara sehingga mereka hendaknya menjalin rasa
kasih sayang dan tidak boleh bermusuhan.
B.Memuliakan dan Menghormati Tetangga dan Tamu
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ(رواه البخارى(
Artinya
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (H.R. Bukhari)
3. Penjelasan Singkat
Hadits di atas
menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari
pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ketiga ciri
yang dimaksudkan adalah: memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan berbicara yang
baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat merupakan
perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti sebatas
pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadits di atas
hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang beriman,
dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah tercakup
dalam hadits tersebut.
Demikian pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadits di atas tidaklah berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadits di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadits termasuk aspek pelengkap keimanan kepada Allah dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam kehidupan sosial.
Demikian pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadits di atas tidaklah berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadits di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadits termasuk aspek pelengkap keimanan kepada Allah dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam kehidupan sosial.
Ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadist di atas, adakalanya terkait
dengan hak-hak kepada Allah SWT, yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan
meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya
terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan
tamu.
Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
·
Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau
memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
·
Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu
gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
·
Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama
kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
·
Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga
sendiri.
·
Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang
dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan
meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita
ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang
kita miliki. Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan
oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di
kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama
dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Di antara akhlak yang terpenting kepada tetangga adalah:
·
Menyampaikan ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira.
·
Menjenguknya tatkala sakit.
·
Berta’ziyah ketika ada keluarganya yang meninggal.
·
Menolongnya ketika memohon pertolongan.
·
Memberikan nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang ma’ruf, dan
lain-lain.
5. Fiqh al-Hadis
Untuk kesempurnaan iman dan sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah
swt. dan hari akhir, seorang mukmin harus memuliakan tetangga, tamu, dan
berkata yang baik atau memilih diam jika tidak mampu mengucapkan yang baik.
- Memuliakan tamu.
Maskud memuliakan tamu dalam hadits di atas mencakup perseorang maupun
kelompok. Tentu saja hal ini dilakukan berdasarkan kemampuan bukan karena ria.
Dalam syariat Islam, batas memuliakan tamu adalah 3 hari tiga malam, sedangkan
selebihnya merupakan sedekah.
- Memuliakan tetangga. Maksud tetangga disini adalah umum, baik yang dekat maupun yang jauh, muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasik, musuh, dan lain-lain, yang bertempat tinggal di lingkungan rumah kita. Namun demikian, dalam memuliakan mereka, terdapat tingkatan-tingkatan antara satu tetangga dengan lainnya. Seorang muslim dan ahli ibadah yang dapat dipercaya dan dekat rumahnya lebih utama untuk dihormati dari pada para tetangga lainnya.
Diantara akhlak yang terpenting
kepada tetangga adalah:
- Menyampaikan ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira
- Menjenguknya tatkala sakit
- Bertakziyah ketika ada keluarganya yang meninggal
- Menolongnya ketika memohon pertolongan
- Memberikan nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang ma’ruf dan lain-lain
3. Berbicara baik dan diam
Sesungguhnya ucapan seseorang menentukan kebahagian dan kesengsaraan
dirinya. Orang yang selalu menggunakan lidahnya untuk berbiara baik,
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kepada kejelekan, membaca Al-Qur’an,
membaca ilmu pengetahuan dan lain-lain. Ia akan mendapatkan kebaikan dan
dirinya pun terjaga dari kejelekan. Sebaliknya orang yang apabila menggunakan
lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat
dosa dan tidak mustahil orang lain, ia akan mendapat dosa dan tidak mustahil
orang lain pun akan bertaubat demikian kepadanya. Maka perintah Rasulullah
untuk berkata baik dan diam merupakan suatu pilihan yang akan mendatangkan
kebaikan.