Keluarga
merupakan institusi terkecil dalam masyarakat. Didalam keluarga umumnya terdiri
dari ayah, ibu dan anak. Keluarga memiliki peran yang penting dalam pembentukan
sebuah masyarakat. Pendidikan di keluarga adalah pendidikan awal dan utama bagi
seorang manusia. Keluarga adalah pemberi pengaruh pertama pada anak manusia. Di
samping itu juga keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan sendi-sendi
pendidikan yang fundamental.
Lingkungan
keluarga merupakan ranah dasar yang sangat menentukan kehidupan anak di masa
selanjutnya. Sebab sebelum terjun ke lingkungan yang lebih luas, seorang anak
mesti mendapat pendidikan dasar di lingkungan keluarganya. Karena itu, peran
ibu di tengah keluarga memiliki posisi sentral.
Peran
khusus ibu dalam mendidik anak bisa kita tinjau dalam dua perspektif. Pertama,
masa-masa awal pembentukan kepribadian seorang anak dilalui dalam buaian dan
kasih sayang seorang ibu. Pada masa-masa awal itulah pondasi pendidikan dini
anak dimulai. Kebiasaan dan pola tindakan seorang ibu akan menjadi model
perilaku dan kepribadian anaknya.
Kedua, kasih sayang seorang ibu merupakan tumpuan hangat seorang anak.
Tiap kali seorang anak merasa tidak nyaman, ia pun akan lari ke pangkuan dan
pelukan ibunya untuk memperoleh rasa aman. Psikiater Inggris John Balby sangat
menekankan masalah tadi. Ia bahkan meyakini, landasan kepribadian anak dibangun
dari hubungan ketergantungan anak dengan ibunya. Balby memaparkan, "Kita
terlambat mengetahui bahwa jika seorang anak, khususnya lelaki, tidak memiliki
ikatan ketergantungan kepada seorang ibu, maka si anak akan memiliki
kepribadian yang membuatnya sulit untuk menjalin hubungan baik dengan yang
lain".
Kini, pengabaian terhadap posisi dan peran ibu
dalam mendidik anak telah membuat masyarakat Barat mengalami krisis sosial yang
serius. Sosiolog AS, Davis Kingsley menulis, "Tampaknya, salah satu
kinerja utama sistem pendidikan di Barat adalah mengasingkan anak dari orang
tuanya". Dalam masyarakat modern, ibu lebih banyak menghabiskan waktunya
di luar rumah dan lingkungan kerja, sementara anak-anak diserahkan pada
pusat-pusat penitipan anak. Ketika sampai di rumah, sang ibu pun merasa letih
dan tidak mampu lagi memainkan peran keibuannya dengan baik. Seorang ahli dari
Universitas Harvard, Dr. Burton White menyatakan, "Mustahil, tempat
penitipan anak bisa memproduksi cinta keibuan dengan tingkat tinggi". Dr.
Elliot Barker, psikiater Barat yang lebih dari dua dekade mengfokuskan
penelitiannya tentang kepribadian para penjahat dan pembunuh, mengungkapkan
keheranannya terhadap sikap sebagian besar orang tua yang tidak mendampingi
anak-anaknya ketika mereka diperlukan. Ia juga mengungkapkan bahwa para pasien
gangguan mental yang ditanganinya juga memiliki latar belakang yang sama, yaitu
dikarenakan tidak memperoleh kasih sayang yang cukup dari orang tua. Dr. Elliot
menjelaskan, "Saya baru memahami bahwa orang-orang seperti mereka, tak
lama setelah dilahirkan mereka berpisah dengan ibunya dan diserahkan kepada
orang lain. Sehingga ibu memiliki waktu yang lebih sedikit di samping
mereka".
Oleh karena itu, Islam memandang keluarga
sebagai institusi sosial yang paling mendasar dan menilai ibu sebagai arsitek
generasi mendatang. Islam menganggap ibu memiliki peran yang menentukan dalam
mendidik jiwa dan mental anak-anak. Sebab, anak yang saleh akan lahir dari
buaian dan pendidikan seorang ibu yang baik.
Keluarga adalah bibit masayarakat. Apabila
keluarga tergantung diatas Islam yang benar maka masyarakat akan menjadi baik
yang dibangun diatas asas, kaidah dan landasan yang lurus. Dan tiang adalah
istri yang shalihah dan ibu yang pandai mendidik dan seorang istri yang baik
maka baiklah keluarga dan anak-anak sebagaimana yang dikatakan oleh penyair:
Ibu adalah madrasah, bila engkau persiapkan dengan baik maka engkau
telah mempersiapkan bangsa yang baik dan kuat.
Ibu laksana taman, bila engkau pelihara tanamannya dengan siraman
yang cukup maka akan tumbuh dengan subur dan rindang.
Rumah
tangga pada dasarnya diwujudkan dan dikelola oleh perempuan. Komponen utama
keluarga adalah perempuan, bukan laki-laki. Keluarga masih dapat dipertahankan
tanpa laki-laki. Tanpa keberadaan laki-laki, misalnya karena meninggal dunia,
seorang ibu rumah tangga masih dapat menjaga keluarga asalkan dia sehat secara
lahir dan batin. Sebaliknya, seorang suami tanpa keberadaan isterinya tidak
akan mampu memelihara rumah tangga. Dengan demikian, pengayom rumah tangga
adalah perempuan.
Islam sedemikian mengutamakan peran perempuan
dalam rumah tangga tak lain karena apabila perempuan menaruh komitmen dan
hasratnya kepada keluarga, mementingkan pemeliharaan dan pertumbuhan anak,
memberi ASI, membesarkan anak dalam pelukannya, membekali anak dengan citarasa
budaya, hikayat-hikayat bijak, hukum dan kisah-kisah Al-Quran dan menyegarkan
anak dengan siraman-siraman ruhani sama intensifnya dengan santapan jasmani,
maka akan tercipta generasi-generasi yang bernas dan matang di tengah
masyarakat. Inilah seni kehidupan seorang perempuan, dan ini sama sekali tidak
kontradiktif dengan profesi perempuan di bidang pendidikan, karir, politik dan
lain sebagainya. Di semua program sosial, rumah tangga harus menjadi pijakan.
Masalah keibuan, rumah tangga dan keluarga adalah masalah yang sangat
substansial dan vital. Artinya, sehebat apapun perempuan di bidang kedokteran
atau bidang-bidang lainnya tetap akan cacat jika dia tidak eksis di dalam rumah
tangga. Bagaimanapun juga perempuan harus menempatkan dirinya sebagai ibu rumah
tangga. Ini harus dijadikan orientasi. Ibu rumah tangga adalah ibarat ratu
dalam dunia lebah, meskipun tamsil ini tak sepenuhnya tepat.
Kaum perempuan dunia sekarang terdera oleh
problema yang sangat pelik dan kronis. Mereka terdera di dua zona sekaligus;
rumah tangga dan masyarakat. Ini terjadi di Eropa, AS dan sejumlah negara lain
yang meniru gaya hidup Barat dengan tingkat intensitas yang berbeda. Dalam
rumah tangga, perempuan benar-benar terzalimi oleh suaminya. Kezaliman terbesar
kaum pria terhadap perempuan dalam rumah tangga ialah sikap suami yang tidak
mencerminkan pandangan bahwa isteri adalah pendamping hidupnya. Suami bersikap
setengah hati terhadap isterinya. Suami di luar rumah gemar berbuat nista,
mengumbar kesenangan dan hawa nafsu. Akibatnya, rumah tangga menjadi ruangan
yang dingin tanpa kehangatan rasa kasih sayang dan terkadang malah suram dan
tertekan oleh perilaku buruk.
Poin terpenting menyangkut istri dan suami
adalah terkait interaksi antara keduanya. Perempuan adalah seorang puteri yang
dibesarkan sampai usia remaja dengan susah payah dan penuh kasih sayang oleh
orang tuanya. Setelah itu dia diserahkan kepada pria yang menikahinya. Nah,
ketika itulah perempuan jangan sampai diperlakukan sebagai sosok yang diharap
dapat memahami segala hal dan bersedia melakukan segala pekerjaan sehingga
begitu ada sedikit saja kesalahan perempuan lantas diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Adalah suami yang zalim jika di dalam rumah dia merasa sebagai
tuan dan memandang isterinya sebagai pelayan dan obyek eksploitasi. Sayangnya,
banyak pria bersikap demikian.
Rumah tangga adalah salah satu benteng akidah
Islam. Oleh karena itu, benteng tersebut harus kuat luar dan dalamnya. Setiap
anggota keluarga harus berdiri siap siaga diposnya masing-masing. Sebab, kalau
tidak demikian, akan mudah bagi pasukan musuh untuk menerobos masuk kedalam
benteng, sehingga tidaklah sulit bagi mereka untuk menghancurkan dan
menguasainya.
Kewajiban seorang mukmin adalah menjaga benteng
itu dari dalam dengan memperkuat seluruh pos penjagaannya sebelum ia pergi jauh
untuk berijtihad. Seorang bapak Muslim tidaklah cukup untuk bersama-sama
mendidik putra dan putri mereka. Oleh karena itu, sia-sia kalau ada seorang
mukmin laki-laki yang berusaha membangun masyarakat islami dengan sekelompok
orang laki-laki lainnya saja. Semestinya harus ada wanita dalam masyarakat
tersebut. Kaum wanita inilah yang menjadi penjaga bagi generasi muda yang
merupakan benih sekaligus buah bagi masa depan masyarakat tersebut.